Aksi Pesawat OV-10 Bronco Dalam Perang Marawi dan Kisahnya Di Dunia TNI AU
OV-10
Bronco adalah pesawat terbang sekaligus kendaraan perang yang
mampu berbuat banyak dalam pertempuran. Pesawat OV-10 Bronco bisa
berkeliaran berjam-jam di udara, mengarahkan tembakan ke musuh, membawa
pasukan payung dan kargo, atau menyerang dengan senjatanya sendiri.
Banyak yang berpikir bahwa pesawat tempur ini seharusnya sudah pensiun
saat ini.
Pada kenyataannya, OV-10 Bronco sangat berguna sebagai pesawat dukungan
udara ringan yang sempurna untuk perang di Kota Marawi, Filipina.
Militer Filipina saat ini sedang terlibat peperangan dengan kelompok
ISIS yang mencoba bertahan di Kota Marawi.
OV-10 Salah Satu Pesawat Legendaris TNI AU
OV-10 Bronco Kiprahnya di TNI AU menorehkan tinta emas dalam jejak perjalanan
Republik Indonesia. di saat-saat genting jasanya sangat dibutuhkan, di
tengah ketiadaan alutsista akibat putusnya hubungan dengan Uni Soviet,
PESAWAT OV-10 yang akrab disebut Kampret di kalangan para penerbang,
segera membaktikan dirinya dalam ganasnya operasi militer untuk
menamatkan perlawanan eks Tropaz dan Fretilin di Timor Timur yang saat
itu baru diintegrasikan ke Republik Indonesia melalui Operasi Seroja.
Dengan
ragam senjata yang bisa dibawa, si Kampret seringkali menjadi penentu
jalannya pertempuran dan membalikkan keadaan. Di awal Operasi Seroja
akhir 1975, praktis Angkatan Udara tidak
mempunyai pesawat tempur yang dapat dioperasikan selain dua B-26 Invader
yang sudah uzur. Sementara pesawat T-33 T-Bird dan F-86 Sabre tidak
leluasa dapat digunakan dalam perang gerilya ini.
Selain keterbatasan teknis, keterbatasan politis juga menghantui
penggunaan kedua pesawat yang awalnya hanya sebagai sarana maintain
ratting pilot tempur Indonesia. Baru setelah OV-10F Bronco ikut ambil bagian dalam operasi di Timor
Timur, jumlah korban perang di pihak Indonesia dapat diperkecil. Di awal
perang Indonesia telah kehilangan 184 prajurit dalam tempo tiga bulan.
Pemilihan
pesawat OV-10F untuk TNI AU bukan serta-merta tetapi
melalui tahapan atas kebutuhan operasi. Disadari bahwa operasi lanjutan
yang dilaksanakan di Timor Timur sangat memperlukan kekuatan udara.
Pesawat T-33 dari Skadron Udara 11 yang terjunkan sangat tidak
efektif meskipun pesawat ini dengan tergesa-gesa telah dimodifikasi
dengan senapan mesin kaliber 12,7 mm serta bomb rack.
Bagi Indonesia kedatangan sang Kuda Liar (sebutan OV-10F Bronco)
ditunggu. Bukan hanya ditampilkan di hadapan khalayak umum tetapi
benar-benar dioperasikan di tempat tugas.
Maka begitu tiba di Jakarta pada 28 September 1976, tiga pesawat
registrasi S-101, S-102, dan S-103 langsung bergabung dengan tim demo
udara untuk ikut fly-pass pada 5 Oktober 1976 yang akan berlangsung di
Parkir Timur Senayan, Jakarta. Tak lama kemudian sudah dikirim ke
Timtim.
Selama pengabdian di TNI AU hampir 30 tahun, dari kokpit Bronco telah
lahir puluhan marsekal mulai dari bintang satu hingga bintang empat.
KSAU yang merupakan penerbang Bronco adalah Rilo Pambudi, Hanafie Asnan,
Herman Prayitno, dan Imam Sufaat. Kiprah OV-10 yang malang-melintang di tanah air dalam beragam operasi
tempur maupun patroli rutin, sesungguhnya hanyalah satu lembaran unik
dari tebalnya buku sejarah OV-10 Bronco.
Pesawat dengan
desain unik twin tail boom ini padahal awalnya boleh
dikata tidak diinginkan dan hanya bisa diadopsi setelah upaya keras,
lobi, dan keberuntungan dari dua penciptanya, W.H. Beckett dan Kolonel
K.P. Rice yang merupakan seorang penerbang dari Korp Marinir AS. Di masa
1960-an dimana seluruh Angkatan yang mengoperasikan aset
udara sedang kesengsem berat dengan yang namanya pesawat tempur bermesin
turbojet dan rudal, kedua orang ini merasa bahwa tetap ada ruang untuk
sebuah pesawat yang didesain secara sederhana, tahan banting, dan mampu
membawa banyak muatan dan melakukan misi serangan darat.
Sedemikian
sederhananya hingga pesawat ini harus mampu dioperasikan dari
jalan raya aspal yang tidak mulus dan lapangan rumput, bisa melakukan
pengintaian dan mendarat untuk berkoordinasi dengan pasukan darat, dan
langsung terbang lagi untuk mencarikan sasaran bagi pasukan kawan. Kedua
penemu ini mematangkan idenya di garasi rumah masing-masing dan bahkan
sempat membuat mock up kayu dan fiberglass.
Keduanya secara aktif menawarkan konsep mereka ke sana-sini, berupaya
menembus ruwetnya birokrasi Pentagon, hingga akhirnya sukses menggolkan
OV-10 melalui program LARA (Light Armed Reconnaissance Aircraft) yang
kemudian diadopsi AU AS, Korp Marinir, dan AL AS. Sisanya adalah
sejarah.
AS yang terlibat di Vietnam harus bersyukur karena mereka memiliki
OV-10, yang bisa menemukan musuh bersembunyi di balik rerimbunan daun
dan kamuflase, yang kemudian juga dibuktikan oleh pilot TNI AU dalam
operasi di Timtim. Walaupun jumlahnya tidak banyak, OV-10 selalu
mendapatkan ponten bagus di medan tempur dari awaknya berkat beragam
muatan yang bisa dibawanya.
Awal kiprah di Asia Tenggara tersebut kemudian tak terbendung, dengan
berbagai negara sahabat mendapatkan jatah distribusi OV-10, baik itu
baru maupun eks lungsuran AS yang sudah tidak membutuhkannya pasca
Perang Vietnam. Uniknya, kemanapun sang Kuda Liar pergi, aksi selalu mengiringi.
Selain Indonesia, Bronco merasakan ganasnya medan pertempuran di
Thailand, Filipina, Venezuela, dan Kolombia.
Bahkan ketika hampir seluruh negara pengguna memensiunkan Bronco yang
mulai menua, Bronco tidak benar-benar tutup buku. Amerika Serikat
bahkan menghidupkan dua Bronco tersisa, yang sebenarnya sudah berpindah
tangan beberapa kali dari Departemen Luar Negeri, NASA, dan kemudian
kembali lagi ke tangan AL AS.
Dua pesawat ini dipermak dengan teknologi penginderaan terkini dan
terbang sebagai pesawat pengamat dan pengendali tempur bagi pasukan
khusus AS yang bertugas di bawah. Siapa nyana, pesawat tua ini masih
memiliki darah muda. Kesiapan terbang di masa evaluasinya mencapai 99%, sebuah prestasi
yang tak bisa dipandang sebelah mata dan tak terkejar oleh pesawat
tempur AS di masa kini.
Ongkos terbangnya saat mengarahkan berbagai amunisi pintar tidak
lebih dari 1.000 dolar AS per jam terbang, bisa rendah karena biaya
penyusutannya tentu sudah tidak dibukukan lagi, tinggal bayar biaya
bahan bakar, pelumas, dan suku cadang. Kalau bukan upaya cawe-cawe dari
Senator John McCain yang menyetop pendanaan untuk program evaluasi
OV-10G+ boleh jadi Bronco akan hidup lagi.
No comments:
Post a Comment